Sabtu, 11 Februari 2012

PEMBERATASAN VIRUS KEADILAN PADA PRAKTEK ATURAN HUKUM

Hukum kebal terhadap pejabat dengan kekuasaannya?!”, pertanyaan ini yang sering muncul di benak kaum awam masyarakat Indonesia terutama yang pernah mengalami permasalahan hukum, yaitu duduk di pesakitan panggung sandiwara sidang pengadilan, hingga di karantina di hotel rodeo, pastinya merekalah yang sangat banyak mengutarakan suaranya, suara pencari keadilan. Karena di lain hal mereka telah melihat sendiri panggung sandiwara hukum negeri ini telah terjadi situasi yang sebaliknya yaitu pihak – pihak yang mempunyai jabatan, kekuasaan, bahkan yang bergelimang materi atau biasa disebut yang mempunyai “taring”. Mereka seolah tidak mempedulikan ancaman apa yang akan ditimpakan kepada mereka ketika terkena permasalahan hukum karena mereka yakin bahwa dengan “taring” yang dimilikinya mampu mengantisipasi kejadian terburuk sekalipun yang akan menimpanya, atau dengan kata lain merekalah yang memegang kendali.
Sangat ironis memang kondisi yang demikian itu sehingga benarlah pertanyaan yang diutarakan sebagaimana tercantum diatas, yaitu akan dibawa  kemana arah hukum negeri ini ?.
Jika dilihat pengertian dari keadilan sendiri adalah kondisi kebenaran ideal secara moral baik menyangkut benda atau orang yang berkaitan dengan sesuatu hal. Teori keadilan yang sesuai menggambarkan dengan kondisi situasi era sekarang adalah teori yang dikemukakan oleh John Rawls seorang filosof Amerika yang mengatakan bahwa “ Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought ”. Yang artinya bahwa “ Keadilan merupakan kelebihan pertama dari institusi sosial, sebagaimana kebenaran pada system pemikiran ”. Dalil tersebut menjelaskan bahwa suatu prestasi utama untuk mencapai tujuan yang bersifat adil pada tingkat hubungan yang dibangun dalam lingkup social adalah dengan mengedepankan pemikiran. Sedang yang dimaksud pemikiran disini adalah sesuai dengan pertimbangan antara permasalahan dengan aturan atau keadaan yang sesungguhnya tanpa sedikitpun mengurangi atau melebihkan keadaan dan fakta yang ada. Contoh beragam kasus dimana rasa keadilan tidak hinggap didalamnya misalnya kasus – kasus pelanggaran HAM lalu seperti kasus Trisakti, kasus Semanggi, serta kasus Munir. Jika dilihat pokok permasalahannya rasanya tidak pantas jika penegak hukum beralasan bahwa kasus tersebut sulit untuk diungkap dan diselesaikan melalui jalur hukum, tapi yang lebih tepat adalah mereka sebenarnya sudah mampu untuk mengungkap sesuai prosedur hukum, namun sekali lagi semua kebenaran itu tertutupi dengan kabut tebal kekuasaan oknum – oknum petinggi bangsa orde yang lalu yang tidak bisa diterobos jika hanya dengan aturan perundang - undang yang notabene mereka buat sendiri.
Jelas ini merupakan kendala dan hambatan terbesar penegak hokum kita sekarang. Sehingga pihak yang merasa dirugikan dan disakiti atas kematian orang – orang yang disayangi hanya bisa pasrah dan menerima keadaan serta berdoa semoga yang menjadi korban keganasan penguasa tersebut bisa tenang di alamnya.
Dengan adanya pandangan bahwa kekuasaanlah yang benar – benar memegang kendali arah hukum negeri ini maka akan memunculkan banyak persepsi bahwa hukum berpihak pada yang berkuasa dan berduit. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana mempraktekkan hukum yang sehat tanpa intervensi dan tekanan dari si golongan atas?. Hal ini disertai dengan kemunculan istilah “mafia” pada pihak yang mempermainkan hukum sesuai dengan keinginannya. Berikut adalah mafia yang sering didengungkan diantaranya terdiri dari mafia hukum, mafia peradilan, dan mafia kasus (markus).

A.    Mafia Hukum
Wajah hukum Indonesia mulai suram sejak tahun 1974. Pada saat itu muncul sebuah peristiwa yang sangat sulit untuk dilupakan karena menggambarkan bagaimana wajah hukum Indonesia benar – benar dicoreng atas tingkah laku para penegak hukum sendiri serta penguasa yang sedang memegang tahta saat itu yaitu peristiwa Malari yang mana menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala bidang pemerintahan untuk melindungi oligarki dan legitimasi kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum menjadi tumbuh subur dan menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya sehingga sampai sekarang masih sulit untuk merubah adat lama di instansi tersebut yang telah mengakar lama sejak era orde baru.
Diperparah lagi karena telah lama mengakar sehingga membuatnya sebuah budaya sampai sekarang.  Yang dimaksudkan dalam hal ini bisa dilihat ketika dalam rangka penyusunan sebuah peraturan perundang – undangan yang notabene merupakan pedoman yang disepakati untuk dipakai untuk menertibkan sebuah urusan tertentu sering diselipkan oleh kepentingan – kepentingan tertentu dan sarat dengan nuansa politik atau dengan kata lain sering disebut politik hukum. Sebagai contoh sebuah peraturan undang – undang yang ditengarai adanya peran mafia hukum didalamnya adalah ketika diberlakukannya UU No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 2002, namun selang beberapa saat belum genap 1 tahun, pada tanggal 25 Maret 2003 sudah diganti dengan UU No. 13 tahun 2003 tetang ketenagakerjaan menggantikan UU ketenagakerjaan sebelumnya. Dengan tempo yang cepat UU itu diganti, padahal ketika menyusun sebuah undang – undang tidaklah mudah perlu dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang oleh orang – orang yang juga bukanlah sembarangan, apalagi peraturan tersebut telah sampai pada tahap pengesahan.
Jika seperti ini apakah tidak menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan yang besar dari setiap kalangan masyarakat. Di awal kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan program 100 hari yang salah satunya adalah bermaksud agar bagaimana hukum di Negara ini sebaiknya diterapkan, salah satu langkah nyata kepemimpinannya adalah dengan membentuk satgas pemberantasan mafia hukum. Niat baik dari Sang Presiden memang sudah baik dan perlu didukung oleh pihak – pihak yang terkait pula, namun mengingat satgas yang dibentuk ibarat sebuah obat antivirus baru yang belum pernah diujicoba keberhasilannya sedangkan virus yang akan dilenyapkan sudah mempunyai jaringan yang mengakar budaya bukan hanya sehari dua hari atau kemarin sore dengan perkembangbiakan yang luar biasa. Sangat sulit untuk membasmi sebuah kebiasaan yang sudah mendarah daging sekian lama.

B.    Mafia Peradilan
Yang dimaksud dengan Mafia Peradilan pada dasarnya hampir sama dengan mafia hukum seperti yang telah disebutkan diatas. Bukan hanya bermain dalam lingkup peradilan namun juga merupakan budaya dalam mempraktekkan hukum dari segala lini yaitu dengan cara mengembangbiakkan budaya korupsi. Mereka berusaha mengatur para penegak hukum, polisi, jaksa, serta hakim pada kewenangannya masing – masing diatur sedemikian rupa sehingga bisa membelokkan jalur yang semestinya telah diatur dalam perundang – undangan yang berkekuatan hukum tetap. Mafia peradilan juga tidak hanya mempengaruhi pada sektor aparat penegak hukum saja namun bisa juga pada  keterangan atau pengakuan dari saksi, ahli, serta menambahkan atau menghapus alat bukt lainnya. Praktek ini terbukti hingga saat ini hanya golongan orang – orang ataslah yang bermain tentunya sarat dengan unsur politik yang tak mau ketinggalan untuk mendampinginya.

C.    Mafia Kasus           
Apakah itu mafia kasus? Apakah mereka yang dengan mudahnya memutar balikan fakta dalam proses penyidikan, penuntutan, sampai peradilan? Atau apakah mereka yang dengan sengaja disertai dengan modal kedekatan dengan pejabat mampu mempengaruhi aparat penegak hukum sehingga dituruti segala keinginannya sendiri maupun pengaruh dari orang yang menyuruh atau memerintahkannya agar sebuah kasus yang melibatkan dirinya atau orang yang memerintahkannya tersebut alurnya bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri. Pada dasarnya semua pernyataan itu benar bahwa setiap kasus yang dikawal atau dibebankan oleh seorang “markus” ujungnya akan sangat merugikan para pencari keadilan, karena pasti merekalah yang akan dikorbankan dan dirugikan. Tidak semua mafia kasus merupakan orang luar dalam lingkup “criminal justice system” negeri ini saja, namun bisa juga dilakukan oleh penegak – penegak hukum kita sebagai praktisi panglima tegaknya keadilan.
Dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (melalui pihak ketiga) mereka bisa dengan menggunakan skenario memudahkan atau mempersulit suatu perkara yang sedang ditangani. Contohnya sudah banyak terjadi dan bahkan menjamur sehingga menjadikannya sebagai trend perkembangan permasalahan hukum di Indonesia, seperti yang sedang hangat diperbincangkan akhir – akhir ini tentang terkuaknya perilaku busuk seorang hakim Mahkamah Konstitusi yang tak kurang dari dua kali memvonis seorang terdakwa dengan putusan yang lebih ringan dari yang sewajarnya padahal sudah jelas dengan bukti dan fakta – fakta yang terpapar seharusnya bisa divonis lebih berat dari vonis yang dijatuhkan olehnya namun fakta di persidangan berbicara lain, apakah dikarenakan kebijakannya yang telah disusupi oleh imbalan materi, janji – janji atau mungkin memang visinya yang terlalu sempit sehingga mengabaikan asas keadilan yaitu peradilan bebas, jujur, adil, dan tidak memihak, namun begitulah fakta di lapangan bagaimana hebatnya pengaruh mafia ini dalam mengutak – atik keadaan. Dalam kasus itu memang benar bahwa keputusan hakim bersifat mutlak dan tidak bisa dipengaruhi oleh pihak – pihak terkait dengan perkara maupun tidak terkait sama sekali, tetapi jika dilihat dari sisi keadilan dan kemanusiaan apakah mungkin seorang hakim hanya melihat dan mempertimbangkan pada satu poros saja.
Ketiga “mafia” yang telah disebutkan diatas serta istilah – istiah lain yang masih banyak disuarakan di kalangan orang – orang yang bergelut di dunia hukum sebenarnya hanya merupakan peribaratan yang pada prakteknya saling kait – mengkait atau saling bekerjasama untuk menuju pada tujuan kotor yang sama.
Pada bab selanjutnya penulis akan banyak membahas praktek hukum dalam ranah pidana serta dijelaskan pula bagaimana penegakan hukum akan diproses jika memasuki ranah pidana yang dilakukan dalam lingkup criminal justice system. 

PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKAIAN PROSES CIMINAL JUSTICE SYSTEM 
Rangkaian terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia yang tergambarkan dan dijelaskan secara tegas melalui proses yang dinamakan criminal justice system (CJS) atau dimana sebuah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia akan melalui seluruh system yang dimaksud. CJS di Negara dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika ini diawali dengan langkah dari aparat Kepolisian untuk mengungkap siapa pelaku tindak pidana tersebut serta untuk mengumpulkan semua barang bukti yang digunakan oleh pelaku dan atau barang hasil perbuatan pelaku sehingga diperoleh bukti yang cukup untuk menjerat pelaku dalam pasal atau undang – undang yang disangkakan kepadanya. Setelah berkas perkara yang disodorkan oleh Kepolisian dirasa telah memenuhi unsur dalam pasal, undang – undang, atau peraturan yang disangkakan serta telah dirasa lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sehingga dapat dilakukan penuntutan untuk tahapan selanjutnya maka JPU akan menyusun dakwaannya untuk dipaparkan kelak di hadapan sidang pengadilan dan setelahnya dilakukan sidang di pengadilan negeri jika perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan tindak pidana. Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua dari majelis hakim pengadilan akan berupaya memutuskan hukuman apa yang patut dijatuhkan, dan setelah vonis dijatuhkan oleh hakim dengan mempertimbangkan asas keadilan, kemanusiaan serta peradilan yang bermartabat maka hasil putusan tersebut yang berupa hukuman kurungan dan atau denda akan dilaksanakan oleh Jaksa. Begitu dan begitulah seterusnya sampai pada proses hukum pidana di Indonesia terlaksana.
Dari berbagai kasus pidana, mekanisme penuntasan perkara yang benar akan sama saja dengan menjalani system tersebut. Serta disebabkan oleh lembaga dalam penuntasan perkara pidana tersebut tidak hanya satu, sehingga untuk menyamakan persepsi atau untuk melihat dari sudut pandang yang sama maka perlu adanya konsolidasi antar lembaga yang mengurusinya seperti adanya Rapat koordinasi antar lembaga penegak hukum dengan tidak melihat bahwa forum itu tidak semata mata untuk membahas tentang satu persoalan hukum yang sedang menjadi perkara saja serta tidak melakukan intervensi terhadap tugas, wewenang, dan tanggung jawab dalam proses penegakan hukum antar instansi. Misalnya, Kejaksaan tidak bisa melakukan intervensi atau menekan permasalahan tindak pidana yang masih atau sedang ditangani di Kepolisian atau masih dalam tahap penyelidikan atau penyidikan sehingga tidak sepatutnya mencampuri kewenangan dan kekuasaan penyidik pada tahap tersebut. 
Terobosan pertama untuk memperbaiki kinerja aparat penegak hukum kita yang termaksud dalam rangkaian CJS memang telah dilakukan dengan menempatkan para pengawas di setiap tingkat dalam pemecahan suatu perkara misalnya di dalam proses penyidikan telah ditunjuk sebagai pengawas penyidikan dari internal instansi penyidik atau dari luar instansi penyidik, sebagai contoh dalam lingkup penyidik Polri, maka pengawasan bisa berasal dari internal Polri seperti Propam Polri atau Perwira yang ditunjuk oleh kesatuan serta dari luar Polri seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau ICW (Indonesian Corruption Watch) jika bersangkutan dengan perkara korupsi misalnya. Secara struktural dan prosedural memang telah dilakukan protap proses penyidikan itu sendiri, karena dengan adanya pengawas penyidikan seperti yang disebutkan diatas akan berfungsi sebagai konrol terhadap perilaku penyidik dalam bertindak apakah sesuai dengan hukum acaranya atau tidak sehingga mampu meminimalisir terjadinya gugatan terhadap kesalahan prosedur yang dengan hal tersebut dapat dikenakan sidang pra peradilan. Satu pandangan pra peradilan sebenarnya bukan menjadikan sebuah titik hitam bagi penyidik karena setiap tersangka berhak untuk mengajukan pra peradilan kepada penyidik jika dirasa olehnya terdapat kesalahan atau ketidaktepatan dalam hal sebagimana diatur dalam pasal 77 KUHAP.
Dengan adanya fungsi pengawasan dalam penyidikan dimaksudkan untuk mengontrol perkara yang ditangani penyidik sehingga monitor terhadap perkara dilakukan tidak hanya pada satu pihak yaitu penyidik yang menanganinya saja. Akan tetapi apakah nyata – nyata tugas pengawasan tersebut telah dilaksanakan oleh setiap pengawas, atau sebaliknya para pengawas itu juga ikut serta menjadi mafia untuk menekan penyidik mengikuti arahan pengawas, karena mereka pikir status mereka berada di atas penyidik, padahal penyidik sendiri bersifat independent tatkala mengungkap sebuah perkara tindak pidana.
Jika praktek dan persepsi itu disalahgunakan maka akibatnya tidaklah berjalan sebagaimana mestinya alur penegakan hukum ketika aparat penegak hukum itu selalu ditekan oleh pihak yang berkuasa yang seolah – olah menempatkan diri sebagai pemutus rangkaian perkara dan menentukan siapa yang benar dan yang salah, serta bukan pula cara yang efektif untuk membenahi sistem hukum Indonesia dengan hanya memecat setiap aparat – aparat yang berperilaku buruk dalam melaksanakan tugasnya, melainkan melalui pendekatan pendidikan kebudayaan mentalitas dan moralitas yang berbudi luhur lah sebagai dasarnya.
Unsur kedua yang tidak kalah pentinnya adalah bagaimana menekan para mafia tersebut agar tidak dengan mudahnya mempermainkan hukum kita. Filosofis sejarah mengatakan bahwa Negara Yang Maju adalah Negara Yang Mempunyai Hukum yang Kuat. Bagaimana sebaiknya membenahi sistem hukum negeri ini. Apakah kajian atau penelitian ulang undang – undang perlu dilakukan secara terus – menerus dan apakah para penegak hukumnya yang harus dibenahi, dalam arti berusaha semaksimal mungkin untuk melenyapkan oknum – oknum yang sering mempermainkan undang – undang dengan memakai tafsirannya sendiri. Tentunya keduanya perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Satu sisi perlu pengkajian terhadap peraturan yang masih saja memihak kepada yang berduit dan yang mempunyai kuasa, satu sisi lainnya menekan para mafia praktisi hukum di lapangan entah itu penegak hukum atau yang bukan penegak hukum namun mampu mengendalikan kewenangan penegak hukum. Jika dengan kondisi yang demikian dapat terpenuhi maka, yakinlah bahwa sedikit demi sedikit tata aturan hukum Negara dapat diterapkan untuk menuju kepada peradilan bebas dan tidak memihak.

STATUS QUO DALAM PENANGANAN PERKARA
Penulis merasa sangat perlu untuk mengemukakan bab ini karena trend penegakan hukum kita telah banyak yang di sabotase oleh perilaku – perilaku yang menyimpang dari pakem yang telah ditetapkan oleh undang – undang terutama masalah tata cara penerapan aturan untuk menjerat seseorang dan menetapkan seseorang yang diduga bersalah tersebut. Jika lingkup pidana yang masih ditangani dalam proses sidik peraturannya diatur oleh KUHP secara umum maka prakteknya dijabarkan dalam KUHAP, maka penanganan yang baik itulah mengacu apa yang dijelaskan dalam KUHAP beserta penjabarannya. Pembawaan secara umum masyarakat kita sering menduga dan keinginan secara instan dan serba cepat dalam melihat suatu urusan. Hal ini merasuk pikiran mereka sampai – sampai disamakan ketika melihat aspek penanganan permasalahan hukum. Budaya yang serba instan tersebut berdampak pada praktek bagaimana ketika mereka tersangkut masalah atau kasus tindak pidana misalnya, mereka akan meminta kepada penegak hukum yang menangani bagaimana baiknya jika perlu sokongan dana illegalpun tidak ragu mereka serahkan guna meringankan pasal agar jangan sampai dapat menjerat kebebasan terlalu lama. Budaya serba KKN itulah yang tidak bisa dipungkiri faktanya antara penegak dan subyek hukum sendiri bermain dalam lingkaran setan yang saling menutupi dan melindungi kepentingan satu dan lainnya agar permasalahan bisa dapat selesai dengan jalan potong kompas.
    Idealisme praktek penanganan suatu perkara tidak lagi menjadi pertimbangan bahkan bagi mafia yang disebutkan diatas dan akan menjadi ladang garapan yang subur dan potensial untuk menjalankan praktek kotornya demi semakin menenggelamkan pakem aturan yang diterapkan untuk setiap permasalahan yang sedang dihadapi. Padahal penanganan perkara di setiap lembaga penegak hukum seharusnya menerapkan standarisasi dengan memegang teguh asas system peradilan dengan mengutamakan perlindungan hak asasi manusia sebagai patokan cara berpikir dan sudut pandang yang diambil dimana jaminan hak – hak seseorang yang belum ditetapkan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai pedomannya sehingga perlu melihat secara obyektif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia tersebut karena pada dasarnya hak asasi itu merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan wujud anugerahNya yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan matrabat manusia sesuai apa yang termaktub dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
Jiwa peradilan dengan memegang teguh hak asasi di masa lalu disebabkan karena banyaknya praktek pelanggaran terhadap kebebasan sampai perenggutan nyawa seseorang tanpa sebab, bukti kesalahan, dan kepastian hukum seseorang tersebut dalam jumlah massal sehingga dibentuknya peraturan yang melindungi setiap hak asasi manusia itu untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi yang berat yang prakteknya disalahgunakan di era yang lalu. Maka produk yang dipakai dan dipahami saat ini dengan mengacu dan mempertimbangkan pada aturan perlindungan HAM digunakan juga dalam melihat posisi obyek yang sedang terjerat dugaan kasus pidana agar jangan sampai dengan mudahnya merenggut kebebasan mereka karena belum adanya kepastian hukum atas kesalahan yang dilakukannya. Kebebasan di era sekarang pastinya sudah berbeda dengan arti kebebasan di masa lalu. Jika kebebasan dan pengertian hak di masa lalu sebagian besar mengacu pada kondisi manusia secara fisik sampai pada nyawa mereka, namun pengertian kebebasan dan hak era sekarang sudah mengarah sampai pada perasaan batin disamping kebebasan secara fisik. Untuk itu para penegak hukum juga perlu mempertimbangkan asas – asas yang dimaksud dalam peraturab perlindungan hak asasi tersebut agar jangan sampai sebagai pemberi keadilan hanya melihat pada satu sisi sehingga tercabutnya hak – hak seseorang tanpa melihat aspek lain sehingga kewenangan yang dulunya banyak disalahgunakan, saat ini juga berimplikasi baik pada fisik maupun secara batin.
Meskipun kita sering melihat seseorang diduga bersalah atas suatu peristiwa yang banyak sekali diberitakan di media massa yaitu cetak atau elektronik maupun media online yang sangat gencar memberitakan seolah – olah dialah biang masalah dan yang paling bersalah atas kelakuan yang dibuatnya sendiri atau hanya sebagai kambing hitam atas kepentingan penguasa yang tidak ingin namanya tercoreng, sehingga menimbulkan persepsi masyarakat bahwa orang yang demikian itu wajib dihukum. Hal ini seolah – olah masyarakat sudah terpengaruh dan terdidik atas hebohnya berita untuk mengadili dan menentukan salah atau tidaknya seseorang tanpa didukung dengan adanya bukti yang valid atas dugaannya tersebut. Maka disini penulis menghimbau bahwa jangan sekali – kali menentukan salah atau tidaknya seseorang sebelum adanya putusan dengan selalu memegang teguh asas praduga tak bersalah. Sehingga implikasi dari status quo perkara dilihat bukan hanya pada para penegak hukum tapi juga pada masyarakat yang secara tidak langsung ikut serta sebagai pengawal  dan pengawas penegakan hukum negeri ini.

MEMBUDAYAKAN PATUH HUKUM  
Payung hukum di Indonesia yang merupakan tata aturan yang jelas dan tertulis yang beragam meliputi hukum publik dan privat sampai hukum yang bersifat khusus atau Lex specialys sampai pada peraturan diluar Undang – undang tersebut tidak ada artinya jika tidak disertai dengan kemampuan subyek hukum atau yang dikenakan oleh hukum itu yaitu masyarakat untuk mematuhi hukum itu sendiri, Program masyarakat sadar hukum yang dahulu pernah diagendakan oleh pemerintah faktanya belum mampu menggugah masyarakat kita untuk semakin patuh pada hukum karena nyatanya angka kejahatan dari tahun ke tahun trend nya terus menunjukkan index yang semakin meningkat. Memang masyarakat sekarang lebih mudah tahu dan mengerti suatu peraturan atau bagaimana sutau undang – undang  itu diterapkan karena sosialisasi yang dilakukan oleh instansi pemerinatahan, organisasi masa, sampai LSM sudah sangat gencar dilakukan melalui media cetak atau elektronik, melalui lembaga – lembaga Negara atau penyampaian secara langsung. Akan tetapi dalam permasalahan ini cara pandang kita bukan hanya tertuju pada apa penyebabnya sehingga membuat psikologis dari masyarakat sendiri menjadi terpengaruh untuk melakukan tindak kriminalitas, namun lebih kepada  bagaimana cara masyarakat setelah mengerti tentang aturan hukum yang diterapkan tersebut mampu mematuhinya secara keseluruhan.
Konsekuensinya membangun Negara dengan embrionya adalah hukum semestinya juga disesuaikan dengan budaya hukum yang dimaksud dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Artinya penegakan hukum atau sebuah aturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis tidak bersifat diskriminatif atau tidak juga disama ratakan, sebab hukum pada hakekatnya harus patuh terhadap keadilan dan kebenaran. Jika tidak diterapkan seperti itu dikhawatirkan masyarakat sebagai subyek hukum tidak lagi mematuhi aturan yang terkandung dalam hukum namun akan mencari keadilan dan kebenarannya melalui hukum adat, hukum rimba atau yang lebih parah lagi diterapkan sesuai dengan penafsirannya masing – masing. Oleh karenanya supremasi hukum yang susah – susah dibuat oleh pejabat kita dengan pemikiran yang matang sebaiknya ditegakkan pula oleh para penegak hukum dengan penuh wibawa agar masyarakat dapat menghormatinya sebagai wujud kepatuhannya pada negara.
    Memberantas virus keadilan melalui praktek penegakan dan aplikasi hukum di lapangan membutuhkan syarat utama yaitu pada para petinggi dan pucuk pimpinan Negara, instansi pemerintahan, dan instansi hukum untuk sama – sama saling koordinasi dalam mengawal langsung dan melawan para mafia keadilan disamping sangat diperlukan pula kesadaran hukum oleh aparat penegak hukum di lapangan serta subyek hukum atau masyarakat untuk sadar dan paham akan aturan yang ada sehingga membuat jiwa kepatuhan pada aturan tersebut sehingga dengan terciptanya kondisi yang demikian maka secara bertahap akan meminimalisir aksi para mafia untuk semakin menggerogoti dan membuat cacat hukum di negeri ini.
- Tersaji -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar