Minggu, 28 Juli 2013

PERLUKAH PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH FORMAL?



I.         PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
       Terjadi beberapa pandangan terhadap materi agama yang masih dipertahankan dalam kurikulum wajib pendidikan formal, ada yang pro dan tidak sedikit yang kontra. Hal dimaksud mengandung sebuah permasalahan terhadap realita dunia pendidikan. Pendapat yang menentang kurikulum agama dalam pembelajaran formal menjelaskan karena adanya fakta yang terungkap bahwa dari era setelah kemerdekaan sampai orde baru mewajibkan kurikulum sekolah memberikan pelajaran agama kepada peserta didiknya, dan terdapat wacana bahwa di tahun 2013, kurikulum memberikan porsi dua kali lipat dari kurikulum sebelumnya tentang pendidikan agama, namun ironinya semakin banyak dan semakin formalnya pendidikan agama tersebut diberikan kepada peserta didik, namun kenyataan di lapangan moral para peserta didik tidak juga memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan moral kepribadian yang lebih baik.

       Berbagai persoalan yang mendasar bahwa pendidikan agama hanya didasarkan pada strategi politis penguasa negara yang bergelut di bidang pendidikan, sedangkan manfaat dari pendidikan agama yang formal tidak bisa dirasakan secara keseluruhan, karena nilai – nilai agama yang notabene setiap agama memberikan nilai yang baik tersebut seringkali diabaikan ketika peserta didik yang mendapatkan pendidikan formal agama bersosialisasi di masyarakat, banyak egoisme yang ditonjolkan daripada nilai. Beban sekolah sudah terlalu besar untuk memberikan ilmu sekaligus menanamkan etika dan moral keagamaan, serta dirasakan tidak adil karena pelajaran agama yang diajarkan di sekolah hanya agama yang disahkan oleh konstitusi sedangkan untuk penganut aliran lokal, tidak diakui, sehingga penerapan ini jika diteruskan akan menimbulkan sifat diskriminasi terhadap penganut ajaran tertentu yang tidak diatur dalam konstitusi.
       Model pembelajaran agama yang baik menurut pihak yang kontra tersebut adalah dengan mulai merubah paradigma jika memang pembelajaran harus diajarkan secara formal dalam dunia pendidikan, yaitu dilihat dari sisi teknik pembelajaran dalam tingkatan level kelas peserta didik dengan menerapkan system pembelajaran 3 tahap, yakni orientasi monoreligius yaitu pembelajaran keyakinan sendiri yang diajarkan di pendidikan tingkat dasar, meningkat ke faham multireligius yaitu pembelajaran mengenal aspek fundamental agama lain dan diajarkan di tingkat sekolah menengah serta tahap akhir atau ketiga yaitu interreligius yaitu pembelajaran yang mengedepankan cara komunikasi antar umat beragama sehingga kerukunan beragama dapat terwujud dan sistem ini untuk mahasiswa di tingkat perguruan tinggi. Dengan model pembelajaran demikian maka semakin tinggi level pendidikan maka semakin paham peserta didik tentang seberapa penting toleransi antar umat beragama.
       Lagi menurut pandangan kontra, dilihat dari segi materi pembelajaran agama yang tepat juga berdasarkan perbandingan sudut pandang orang lain yaitu dengan mengenalkan kepada peserta didik pembelajaran dan pendekatan agama secara ilmiah, di tengah kondisi masyarakat Nusantara yang plural dan mengurangi cara doktrin terhadap agama tertentu yang dapat pada akhirnya dapat menimbulkan konflik.

B.  TUJUAN PENULISAN
       Berdasarkan latar belakang masalah perihal pandangan pertentangan terhadap materi agama diajarkan dalam seklah formal, maka penulisan selanjutnya akan dibahas dan cenderung menanggapi pandangan kontra sebagaimana dijabarkan dalam pokok masalah diatas, guna memberikan perbandingan cara pandang mengenai model pembelajaran agama dan seberapa pentingnya pembelajaran tersebut dimasukkan pada kurikulum sekolah era sekarang.

II.      PEMBAHASAN

            Salah satu pilar berkembangnya budaya dan sejarah masa depan suatu bangsa tidak lepas dari peran pendidikan, karena sarana pendidikan merupakan metode yang mampu membentuk seberapa kuat karakter bangsa tersebut disamping tentunya memberikan ilmu pengetahuan, salah satu pola pembentukan karakter adalah dengan metode pendidikan agama. Ada paham yang tidak menyetujui materi agama diletakkan dalam materi nomor wahid pada pembelajaran formal tersebut memberikan sudut pandang kecenderungan untuk menghilangkan pendidikan agama di sekolah formal karena melihat kurang berfungsinya pendidikan tersebut ketika peserta didik yang menerima materi pendidikan agama dikembalikan ke masyarakat, pihak yang menentang tersebut mencermati serta menilai dewasa ini mentalitas kaum muda yang mana dalam sejarahnya berperan besar pada setiap perubahan dan revolusi bangsa, dewasa ini belum cukup sebagai pilar yang mampu mengarahkan bangsa kearah yang lebih baik, karena belum mampu menjalin komunikasi antar umat beragama, sebagaimana diketahui Indonesia merupakan Negara plural termasuk agamanya, dan peserta didik yang mendapatkan pendidikan agama kurang bisa mengapresiasikan, karena konflik berlandaskan agama masih terjadi di bumi pertiwi.
            Dari pandangan diatas, tidaklah salah dan juga tidak sepenuhnya benar karena pandangan skeptis mengenai pendidikan formal agama hanya melihat hasil pendidikan saja yaitu fungsi pendidikan agama disandingkan dengan jalinan kerukunan antar umat beragama di masyarakat yang dirasa kurang berhasil. Namun di lain sisi, pendidikan agama juga penting untuk menunjukkan identitas bangsa yang berketuhanan yang Maha Esa sebagaimana dimaksud dalam Dasar Negara Pancasila sila pertama dan sepatutunya tidaklah dijadikan korban atas berkurangnya soliditas bangsa dalam keberagaman agama dan keyakinan.
            Pendidikan agama yang telah ditetapkan oleh Negara dan diatur dalam konstitusi sudah jelas, yang kemudian agama itulah yang diajarkan pada pembelajaran sekolah umum. Berikut akan dijabarkan begitu pentingnya peran pembelajaran agama di sekolah, dengan pengertian serta metodenya, antara lain :

A.  FUNGSI AGAMA DALAM PENDIDIKAN
       Sebelum lebih jauh mengetahui seberapa besar agama diajarkan dalam pendidikan formal, perlu diketahui dahulu, apa itu agama. Agama merupakan keyakinan orang yang menjadi panutan dalam berketuhanan yang Maha Esa dan berfungsi mengatur kehidupan mengenai batasan baik dan buruk perilaku serta mengarahkan cara hidup yang lebih baik untuk kehidupan dunia dan kehidupan setelah mati. Jadi, agama dapat dibahasakan sebagai sebuah keyakinan masing – masing individu yang tidak dapat dipaksakan dan melekat dalam setiap tingkah laku individu tersebut untuk mengatur setiap pola perilaku dan membedakan baik dan buruk setiap tingkah laku, Agama yang telah disahkan oleh konstitusi sebelumnya telah dicermati dengan penelitian lapangan yang tidak main – main dan pengesahan keyakinan tersebut juga telah lama disahkan, sehingga tidak menjadi alasan jika keyakinan lain yang tidak disahkan konstitusi tersebut menjadikan kalangan minoritas, namun bisa dimasukkan kedalam kategori khasanah budaya bangsa.
       Mengetahui peran agama dari pengertian agama tersebut, fungsi agama lebih melekat pada diri setiap individu, dan jika diselaraskan dengan kurikulum pendidikan Indonesia, yang tidak hanya mengedepankan ilmu namun norma dan etika maka jelas, fungsi agama mengiringi setiap ilmu yang diajarkan bersamaan dengan pembelajaran moral etika lain seperti pendidikan kewarganegaraan. Karena semakin pendidikan moral dan kebripadian beragama yang berketuhanan tidak diajarkan, dan menjadikan pendidikan tersebut sebagai opsional, maka membuat moral berketuhanan semakin mengalami kondisi yang degradasi. Namun permasalahannya adalah bagaimana pembelajaran agama yang baik diterapkan di lingkungan tempat pendidikan yang dirasa sampai saat ini belum menemukan jati diri metode pembelajaran yang tepat tersebut.

B.  PEMBELAJARAN AGAMA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGIS PESERTA DIDIK
       Perlunya pengkajian pokok metode yang baik adalah dengan diajarkannya melalui pendekatan psikologis kepada para peserta didik yaitu kemampuan pendidik dalam hal membuat program pendidikannya agar dapat melekat dan selanjutnya dapat dirasakan dan diterapkan oleh peserta didik dalam setiap tingkah lakunya. Program pendidikan yang sesuai dengan latar psikologis adalah dengan metode peserta didik menerapkan sendiri pokok dan nilai agama yang dianutnya melalui pembelajaran mentoring atau pembelajaran menerangkan satu sama lain berdasarkan nilai keagamaan, cara mentoring seorang kepada orang lain menjadikan seorang yang tatkala menjadi mentor dan memberikan sesuatu ilmu dan di dalam ilmu dimaksud terdapat suatu kebaikan, maka secara tidak langsung seorang mentor akan bertanggung jawab kepada apa yang dikatakannya dan bagaimana tanggapan dan apa yang dilakukan oleh peserta mentor.
       Cara ini baik tidak hanya diterapkan untuk pembelajaran agama saja namun juga pembelajaran keilmuan lain yang saat ini sudah diterapkan dan dikenal dengan metode pembelajaran system KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikulum tersebut juga memacu peserta didik lebih aktif menerangkan daripada diterangkan dengan harapan peserta didik bertanggung jawab dengan apa yang dikatakannya dan apa yang diakatakan merupakan suatu kebaikan.
       Selain cara pembelajaran, faktor pendidik juga memegang peranan penting bagi keberhasilan pembelajaran berbasis moral dan agama, pendidik yang beradab dan mampu menyampaikan setiap ilmunya dengan landasan moral dan nilai agama menjadikan nilai plus, serta cara penyampaian pendidik melalui pendekatan psikologis dengan peserta didik menjadi hal yang penting diperhatikan, dan apa yang disampaikan baik nilai secara eksplisit sekalipun dapat dirasakan oleh siswanya.

C.  PENERAPAN NILAI AGAMA DARI PENDIDIKAN FORMAL MENUJU KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
       Setelah metode agama yang diterapkan berlandaskan pendekatan psikologis, maka keluaran setelah pembelajaran tersebut adalah sebuah nilai yang akan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dengan situasi multi agama. Nilai agama yang didapatkan di sekolah umum, seharusnya dibawa dan diterapkan di lingkungan kemasyarakatan. Sesuai dengan sebuah pendapat yang berkata Nilai moral keagamaan merupakan suatu yang abstrak namun bisa dirasakan melalui perilaku individu. Pada poin ini peserta didik yang telah lulus pendidikan moral keagamaan, maka akan menerapkan hakekat ilmu agama tersebut dalam setiap perilakunya di liangkungan masyarakat, berhasil tidaknya proses pembelajaran agama akan dibuktikan pada fase ini.
       Dalam kaidah ilmu agama, hal terpenting yang diterapkan adalah nilai kebaikan atas agama tersebut tanpa memandang agama apa yang dianut masing – masing individu tersebut, sehingga penerapan yang tepat dapat menjaga kerukunan antar umat beragama, dan tidak terjadi lagi konflik atas nama agama yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa.  

III.   PENUTUP
           
         Melihat dan mencermati permasalahan diatas, menurut hemat penulis masih perlunya pembelajaran agama di tingkat pendidikan sekolah umum dengan alasan dua pilar pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian bangsa yang bermoral di tingkat pendidikan formal adalah pendidikan agama dan kewarganegaraan. Hanya yang perlu diperhatikan lagi adalah bagaimana proses pendidikan agama yang tepat guna sehingga mampu menghasilkan lulusan peserta didik dengan memegang nilai agama yang berhasil guna dan selanjutnya bagaimana lulusan tersebut mampu menerapkan nilai moral keagamaan tersebut di tengah – tengah kehidupan bermasyarakat, hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar