I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Terjadi beberapa pandangan terhadap materi
agama yang masih dipertahankan dalam kurikulum wajib pendidikan formal, ada
yang pro dan tidak sedikit yang kontra. Hal dimaksud mengandung sebuah permasalahan
terhadap realita dunia pendidikan. Pendapat
yang menentang kurikulum agama dalam pembelajaran formal menjelaskan karena adanya
fakta yang terungkap bahwa
dari era setelah kemerdekaan sampai orde baru mewajibkan kurikulum sekolah
memberikan pelajaran agama kepada peserta didiknya, dan terdapat wacana bahwa
di tahun 2013, kurikulum memberikan porsi dua kali lipat dari kurikulum
sebelumnya tentang pendidikan agama, namun ironinya semakin banyak dan semakin
formalnya pendidikan agama tersebut diberikan kepada peserta didik, namun kenyataan
di lapangan moral para peserta didik tidak juga memberikan dampak yang
signifikan terhadap perubahan moral kepribadian yang lebih baik.
Berbagai persoalan yang mendasar
bahwa pendidikan agama hanya didasarkan pada strategi politis penguasa negara
yang bergelut di bidang pendidikan, sedangkan manfaat dari pendidikan agama
yang formal tidak bisa dirasakan secara keseluruhan, karena nilai – nilai agama
yang notabene setiap agama memberikan nilai yang baik tersebut seringkali
diabaikan ketika peserta didik yang mendapatkan pendidikan formal agama
bersosialisasi di masyarakat, banyak egoisme yang ditonjolkan daripada nilai. Beban sekolah sudah terlalu besar
untuk memberikan ilmu sekaligus menanamkan etika dan moral keagamaan, serta
dirasakan tidak adil karena pelajaran agama yang diajarkan di sekolah hanya
agama yang disahkan oleh konstitusi sedangkan untuk penganut aliran lokal,
tidak diakui, sehingga penerapan ini jika diteruskan akan menimbulkan sifat
diskriminasi terhadap penganut ajaran tertentu yang tidak diatur dalam
konstitusi.
Model
pembelajaran agama yang baik menurut
pihak yang kontra tersebut adalah dengan mulai merubah paradigma jika memang pembelajaran harus diajarkan
secara formal dalam dunia pendidikan, yaitu dilihat dari sisi teknik
pembelajaran dalam tingkatan level
kelas peserta didik dengan menerapkan system pembelajaran 3 tahap, yakni orientasi monoreligius
yaitu pembelajaran keyakinan sendiri yang diajarkan di pendidikan tingkat dasar, meningkat ke faham multireligius yaitu
pembelajaran mengenal aspek fundamental agama lain dan diajarkan di tingkat
sekolah menengah serta tahap akhir
atau ketiga yaitu interreligius yaitu pembelajaran yang mengedepankan
cara komunikasi antar umat beragama sehingga kerukunan beragama dapat terwujud
dan sistem ini untuk mahasiswa di tingkat perguruan tinggi. Dengan model pembelajaran demikian maka semakin
tinggi level pendidikan maka semakin paham peserta didik tentang seberapa penting
toleransi antar umat beragama.
Lagi menurut pandangan kontra, dilihat
dari segi materi pembelajaran agama yang tepat juga berdasarkan perbandingan sudut pandang orang lain yaitu dengan mengenalkan kepada
peserta didik pembelajaran dan pendekatan agama secara ilmiah, di tengah
kondisi masyarakat Nusantara yang plural dan mengurangi cara doktrin terhadap
agama tertentu yang dapat pada akhirnya dapat menimbulkan konflik.
B. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan latar
belakang masalah perihal pandangan
pertentangan terhadap materi agama diajarkan dalam seklah formal, maka
penulisan selanjutnya akan dibahas dan cenderung menanggapi pandangan kontra sebagaimana dijabarkan
dalam pokok masalah diatas, guna memberikan perbandingan cara pandang mengenai
model pembelajaran agama dan seberapa pentingnya pembelajaran tersebut dimasukkan
pada kurikulum sekolah era sekarang.
II.
PEMBAHASAN
Salah
satu pilar berkembangnya budaya dan sejarah masa depan suatu bangsa tidak lepas
dari peran pendidikan, karena sarana pendidikan merupakan metode yang mampu
membentuk seberapa kuat karakter bangsa tersebut disamping tentunya memberikan
ilmu pengetahuan, salah satu pola pembentukan karakter adalah dengan metode
pendidikan agama. Ada paham yang
tidak menyetujui materi agama diletakkan dalam materi nomor wahid pada
pembelajaran formal tersebut memberikan sudut pandang kecenderungan
untuk menghilangkan pendidikan agama di sekolah formal karena melihat kurang
berfungsinya pendidikan tersebut ketika peserta didik yang menerima materi
pendidikan agama dikembalikan ke masyarakat, pihak yang menentang tersebut mencermati serta menilai dewasa ini
mentalitas kaum muda yang mana dalam sejarahnya berperan besar pada setiap
perubahan dan revolusi bangsa, dewasa ini belum cukup sebagai pilar yang mampu mengarahkan
bangsa kearah yang lebih baik, karena belum mampu menjalin komunikasi antar
umat beragama, sebagaimana diketahui Indonesia merupakan Negara plural termasuk
agamanya, dan peserta didik yang mendapatkan pendidikan agama kurang bisa
mengapresiasikan, karena konflik berlandaskan agama masih terjadi di bumi
pertiwi.
Dari
pandangan diatas, tidaklah salah dan juga tidak sepenuhnya benar karena pandangan skeptis mengenai pendidikan
formal agama hanya melihat hasil pendidikan saja yaitu fungsi pendidikan
agama disandingkan dengan jalinan kerukunan antar umat beragama di masyarakat
yang dirasa kurang berhasil. Namun di lain sisi, pendidikan agama juga penting
untuk menunjukkan identitas bangsa yang berketuhanan yang Maha Esa sebagaimana
dimaksud dalam Dasar Negara Pancasila sila pertama dan sepatutunya tidaklah
dijadikan korban atas berkurangnya soliditas bangsa dalam keberagaman agama dan
keyakinan.
Pendidikan
agama yang telah ditetapkan oleh Negara dan diatur dalam konstitusi sudah
jelas, yang kemudian agama itulah yang diajarkan pada pembelajaran sekolah
umum. Berikut akan dijabarkan begitu pentingnya peran pembelajaran agama di
sekolah, dengan pengertian serta metodenya, antara lain :
A.
FUNGSI AGAMA
DALAM PENDIDIKAN
Sebelum lebih
jauh mengetahui seberapa besar agama diajarkan dalam pendidikan formal, perlu
diketahui dahulu, apa itu agama. Agama merupakan keyakinan orang yang menjadi
panutan dalam berketuhanan yang Maha Esa dan berfungsi mengatur kehidupan
mengenai batasan baik dan buruk perilaku serta mengarahkan cara hidup yang
lebih baik untuk kehidupan dunia dan kehidupan setelah mati. Jadi, agama dapat
dibahasakan sebagai sebuah keyakinan masing – masing individu yang tidak dapat
dipaksakan dan melekat dalam setiap tingkah laku individu tersebut untuk
mengatur setiap pola perilaku dan membedakan baik dan buruk setiap tingkah laku,
Agama yang telah disahkan oleh konstitusi sebelumnya telah dicermati dengan
penelitian lapangan yang tidak main – main dan pengesahan keyakinan tersebut
juga telah lama disahkan, sehingga tidak menjadi alasan jika keyakinan lain
yang tidak disahkan konstitusi tersebut menjadikan kalangan minoritas, namun
bisa dimasukkan kedalam kategori khasanah budaya bangsa.
Mengetahui
peran agama dari pengertian agama tersebut, fungsi agama lebih melekat pada
diri setiap individu, dan jika diselaraskan dengan kurikulum pendidikan
Indonesia, yang tidak hanya mengedepankan ilmu namun norma dan etika maka jelas,
fungsi agama mengiringi setiap ilmu yang diajarkan bersamaan dengan
pembelajaran moral etika lain seperti pendidikan kewarganegaraan. Karena
semakin pendidikan moral dan kebripadian beragama yang berketuhanan tidak
diajarkan, dan menjadikan pendidikan tersebut sebagai opsional, maka membuat
moral berketuhanan semakin mengalami kondisi yang degradasi. Namun
permasalahannya adalah bagaimana pembelajaran agama yang baik diterapkan di
lingkungan tempat pendidikan yang dirasa sampai saat ini belum menemukan jati
diri metode pembelajaran yang tepat tersebut.
B. PEMBELAJARAN AGAMA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGIS
PESERTA DIDIK
Perlunya pengkajian pokok metode
yang baik adalah dengan diajarkannya melalui pendekatan psikologis kepada para
peserta didik yaitu kemampuan pendidik dalam hal membuat program pendidikannya
agar dapat melekat dan selanjutnya dapat dirasakan dan diterapkan oleh peserta
didik dalam setiap tingkah lakunya. Program pendidikan yang sesuai dengan latar
psikologis adalah dengan metode peserta didik menerapkan sendiri pokok dan
nilai agama yang dianutnya melalui pembelajaran mentoring atau pembelajaran
menerangkan satu sama lain berdasarkan nilai keagamaan, cara mentoring seorang
kepada orang lain menjadikan seorang yang tatkala menjadi mentor dan memberikan
sesuatu ilmu dan di dalam
ilmu dimaksud terdapat suatu kebaikan, maka secara tidak langsung seorang
mentor akan bertanggung jawab kepada apa yang dikatakannya dan bagaimana
tanggapan dan apa yang dilakukan oleh peserta mentor.
Cara
ini baik tidak hanya diterapkan untuk pembelajaran agama saja namun juga
pembelajaran keilmuan lain yang saat ini sudah diterapkan dan dikenal dengan
metode pembelajaran system KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikulum
tersebut juga memacu peserta didik lebih aktif menerangkan daripada diterangkan
dengan harapan peserta didik bertanggung jawab dengan apa yang dikatakannya dan
apa yang diakatakan merupakan suatu kebaikan.
Selain
cara pembelajaran, faktor pendidik juga memegang peranan penting bagi keberhasilan
pembelajaran berbasis moral dan agama, pendidik yang beradab dan mampu
menyampaikan setiap ilmunya dengan landasan moral dan nilai agama menjadikan
nilai plus, serta cara penyampaian pendidik melalui pendekatan psikologis
dengan peserta didik menjadi hal yang penting diperhatikan, dan apa yang
disampaikan baik nilai secara eksplisit sekalipun dapat dirasakan oleh
siswanya.
C. PENERAPAN NILAI AGAMA DARI PENDIDIKAN
FORMAL MENUJU KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Setelah
metode agama yang diterapkan berlandaskan pendekatan psikologis, maka keluaran
setelah pembelajaran tersebut adalah sebuah nilai yang akan diaplikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat dengan situasi multi agama. Nilai agama yang didapatkan
di sekolah umum, seharusnya dibawa dan diterapkan di lingkungan kemasyarakatan.
Sesuai dengan sebuah pendapat yang berkata Nilai moral keagamaan merupakan
suatu yang abstrak namun bisa dirasakan melalui perilaku individu. Pada poin ini
peserta didik yang telah lulus pendidikan moral keagamaan, maka akan menerapkan
hakekat ilmu agama tersebut dalam setiap perilakunya di liangkungan masyarakat,
berhasil tidaknya proses pembelajaran agama akan dibuktikan pada fase ini.
Dalam kaidah
ilmu agama, hal terpenting yang diterapkan adalah nilai kebaikan atas agama
tersebut tanpa memandang agama apa yang dianut masing – masing individu
tersebut, sehingga penerapan yang tepat dapat menjaga kerukunan antar umat
beragama, dan tidak terjadi lagi konflik atas nama agama yang dapat menimbulkan
perpecahan bangsa.
III.
PENUTUP
Melihat dan mencermati permasalahan diatas,
menurut hemat penulis masih perlunya pembelajaran agama di tingkat pendidikan
sekolah umum dengan alasan dua pilar pembelajaran yang dapat membentuk
kepribadian bangsa yang bermoral di tingkat pendidikan formal adalah pendidikan
agama dan kewarganegaraan. Hanya yang perlu diperhatikan lagi adalah bagaimana
proses pendidikan agama yang tepat guna sehingga mampu menghasilkan lulusan
peserta didik dengan memegang nilai agama yang berhasil guna dan selanjutnya bagaimana
lulusan tersebut mampu menerapkan nilai moral keagamaan tersebut di tengah –
tengah kehidupan bermasyarakat, hal
tersebut menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar