Salam hangat penulis kepada para pengunjung Blog TERSAJI, dan kehadiran
kali ini, pengunjung akan disajikan dengan suatu topik menarik yang sayang
untuk dilewatkan. Karena kali ini kita akan mengulas satu kejahatan era modern
globalisasi namun jarang disadari, padahal kenyataannya sudah banyak masyarakat
yang merasa dirugikan yaitu hal – hal yang berkaitan dengan kejahatan jaringan di
dunia maya atau dengan bahasa hukum disebut kejahatan informasi dan transaksi
elektronik (ITE) atau yang lebih lagi dikenal dengan cyber crime, sehingga diperlukan aturan khusus terutama mengenai
bagaimana cara membuktikan pidana tersebut di depan pengadilan. Namun sebelum
mengenal lebih jauh tentang bagaimana perluasan alat bukti digunakan dalam
pembuktian perkara pidana cyber crime
dan bagaimana cara kejahatan tersebut dilakukan, terlebih dulu akan dijelaskan beberapa
istilah bahasa yang banyak ditemukan berkaitan dengan kejahatan dimaksud
diantaranya:
-
Informasi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
-
Transaksi
Elektronik adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media
elektronik lainnya.
- Teknologi Informasi
adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau
menyebarkan informasi.
- Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makan atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
-
Sistem Elektronik
adalah serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
- Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik
oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
- Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau
lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
- Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat
untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu
secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
-
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang
memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek
hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik.
- Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi
sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat
Elektronik.
- Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk
oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan
kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
- Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi
Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Beberapa istilah dan ketentuan lain yang tidak
tercantum disini, mengenai pengertian, tata aturan, dan penerapan pidana dapat
pengunjung baca atau download sendiri di http://www.santoslolowang.com/hukum/download-uu-ite
Pembahasan akan dilanjutkan pada bagaimana awalnya
muncul undang – undang ini serta perlu atau tidaknya UU ITE ini untuk menangkal
baragam perkara ranah pidana yang berhubungan dengan dunia maya.
Berawal pada tanggal 25 Maret 2008, yaitu
pemerintah yang diwakili oleh Departemen Komunikasi dan Informasi mengeluarkan
suatu perundang – undangan yang dilahirkan atas dasar keprihatinan masyarakat
akan kebebasan media informasi terutama yang berasal dan disalurkan melalui
jaringan satelit atau internet. Kerawanan kebebasan bersifat kebablasan yang
dimaksud disini adalah hal – hal yang berbau pornografi, kekerasan, dan SARA.
Kebebasan dunia maya tersebut tidak mengenal batasan umur, golongan, pangkat,
dan sudut pandang. Pornografi misalnya, kita dapat dengan amat sangat mudahnya
mengakses berbagai macam materi berbau pornografi melalui satu mesin pencari
sebut saja salah satunya Google. Terdapat jutaan situs yang menyediakan
keinginan fantasi seks seseorang mulai yang bersifat seks edukatif sampai seks
bebas. Menutup atau memblokir situs ini bisa diibaratkan seperti membendung
banjir di gang perkotaan dengan menggunakan setumpuk karung berisikan pasir,
tentunya pasti akan lolos juga. Bahkan yang paling memprihatinkan lagi banyak
situs berkedok diluar muatan pornografi namun diselewengkan menjadi penyedia materi
pornografi. Menurut ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pornografi
yang bersifat layaknya zat adiktif, mampu meracuni mental, pikiran anak dan
menumbuh kembangkan pikiran tersebut sampai dewasa dan bersifat candu. Parahnya
lagi budaya arif Indonesia masih seolah mentabukan materi pornografi pada usia
tertentu, padahal memperhatikan kondisi masa kini rasanya tidak mungkin
membendung suatu informasi kehadapan masyarakat, sehingga dengan kepincangan
pola pikir tersebut, banyak pihak terutama berimplikasi pada anak – anak yang
semakin berani untuk mengungkapkan rasa seksnya tanpa bisa memperkirakan
bagaimana akibatnya kedepan.
Dengan satu contoh kecil tentang pornografi
tersebut saja mampu mengakibatkan sifat negatif yang sangat kompleks, padahal
masih banyak lagi akibat dari era globalisasi internet ini, belum lagi jika
kita dihadapkan pada beberapa kejahatan jaringan yang menonjol dan sering
diterapkan secara bebas dengan kuantitas tinggi diantaranya sabotase perangkat
lunak digital, pengerusakan sistem security jaringan, akses ke jaringan atau
situs organisasi atau instansi tertentu yang bersifat rahasia, penyalanghunaan
kartu pembayaran transaksi elektronik atau ATM, dan membuka proteksi software
tertentu secara ilegal atau tanpa ijin. Beberapa kejahatan yang telah
dijabarkan tersebut menjadikan pergeseran fungsi utama internet dari awal mula
dihadirkan untuk mencerdaskan kehidupan dengan beragam informasi yang tersebar
secara bebas, mengembangkan perekonomian dan perdagangan nasional, serta
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik, namun saat ini
dijadikan sebagai media yang efektif merubah sifat, pola pikir, sudut pandang,
mental, dan kebiasaan manusia. Mengapa bisa dikatakan efektif, karena selain program
televisi yang bisa dilihat secara gratis, telah banyak provider jaringan masa
kini yang menyediakan fasilitas internet secara gratis, langganan, maupun
paketan dengan biaya minimalis. Sehingga pengorbanan menggunakan jaringan
internet hampir bisa disetarakan dengan melihat program televisi dari
perusahaan televisi tanpa bayar.
Bagi sebagian masyarakat modern internet dinilai
sebagai lahan yang paling berperan untuk menyebarkan suatu berita dan cerita
dalam segala muatan, bahkan menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono, setiap
detik terdapat 28258 pengguna internet melihat situs porno, dan setiap detiknya
372 orang mengetikkan kata kunci di mesin pencari untuk mencari konten
pornografi, bukanlah suatu yang mengejutkan. Sehingga berkaca pada penelitian
tersebut memang diperlukan langkah pasti dalam menanggulangi segala kemungkinan
kejahatan atau kejahatan yang telah terjadi dengan menggunakan sarana teknologi
elektronik, walaupun jika dibandingkan dengan negara – negara lain di Asia
Tenggara saja, Indonesia ketinggalan perihal aturan yang mengatur perihal
transaksi elektronik, sebut saja Malaysia yang telah mengeluarkan aturan serupa
yang dinamakan Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) sejak tahun 1997
sedangkan Indonesia tertinggal 10 (sepuluh) tahun kemudian, yaitu sejak
Indonesia mengesahkan UU ITE pada tahun 2008.
Langkah pasti yang dimaksud adalah aturan tersendiri
yang kemudian disebut dengan UU ITE yang digunakan untuk mengatasi penyakit
yang timbul di ruang cyber tersebut dan
berlaku dalam penanganan kasus berkaitan dengan ruang cyber sehingga mengesampingkan aturan umum (KUHP) atau sering
disebut asas Lex Specialis Derogat Legi
Generalis. Sedangkan hal terpenting dalam menerapkan aturan dimaksud lagi –
lagi masalah pembuktian, karena di tahap ini akan memegang peranan yang sangat
penting untuk dapat atau tidaknya menjerat seorang tersangka atau terdakwa
dengan unsur pokok pasal pidana maupun perdata, lalu bagaimana pengembangan
alat bukti yang digunakan dalam UU ITE, berikut penjelasannya :
Alat bukti yang sah dalam UU No. 11 tahun 2008
disebut sebagai dokumen elektronik atau informasi elektronik dan / atau hasil
cetaknya yang penjelasannya telah dijabarkan diatas dan merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP, namun tidak
semua dokumen maupun informasi elektronik bisa dijadikan alat bukti, mengapa
demikian, karena dilihat lagi apakah digunakan dalam suatu sistem elektronik
atau tidak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 UU No. 11 Tahun 2008. Dan sistem
elektronik yang bisa dimaksudkan oleh undang – undang ini harus memenuhi
persyaratan mÃnimum sebagaimana diatur dalam pasal 16 UU ITE diantaranya :
- Dapat menampilkan kembali informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi
yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
- Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut;
- Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk
dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
- Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
- Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Dengan
diterapkannya salah satu unsur informasi maupun dokumen elektronik yang mana
melalui mekanisme sistem elektronik yang ketentuannya telah diatur tersebut,
maka sudahlah cukup memenuhi sebagai alat bukti yang sah di persidangan melalui
penerapan UU ITE lebih – lebih jira digunakan bersamaan dengan alat bukti lain
dalam pasa 184 KUHP.
Penulis akan
memberikan sebuah contoh sederhana bagaimana perluasan alat bukti yang dimaksud
dalam UU ini berlaku, dan dikolaborasikan dengan alat bukti pokok yang diatur
dalam Hukum Acara Pidana umunya. Contohnya adalah alat lie detector yang diduga digunakan sebagai salah satu barang bukti
suatu perkara pidana sebut saja sebagai contoh keterangan / sumpah palsu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 KUHP, yang mana tidak termasuk dalam
kategori alat bukti dalam KUHAP, namun karena sistem peradilan nusantara yang
tidak membatasi bagaimana cara mencari alat bukti atau pembuktian bebas, maka
sah – sah saja hasil dari alat ini menunjang alat bukti pokok yang lain dengan
tujuan sebagai penguat keyakinan hakim untuk memutuskan perkara sebagaimana
diatur dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”, sehingga jelas bahwa hasil alat lie
detector yang di print dan didukung dengan penjelasan ahli akan menjadi
sebuah bukti surat namun kekuatannya harus didukung dengan alat bukti lain yang
bersesuaian, sehingga dengan cara tersebut merupakan salah satu usaha yang akan
meyakinkan hakim pada perkara yang didakwakan. Begitu pula halnya berlaku pada sarana
atau media lain seperti flash disk, copy disk, maupun alat optik penyimpanan
lainnya sebagai media penyimpanan digital.
Namun perlu dicatat bahwa alat bukti yang dimaksud
bukanlah medianya melainkan informasi atau dokumen elektronik didalamnya dan
digunakan sebagai alat maupun hasil kejahatan cyber.
*) Semoga bermanfaat, dan sebagai salah satu
referensi penambah ilmu. – tersaji -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar