Minggu, 03 Juni 2012

PENGARUH UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG ITE DALAM MASYARAKAT MODERN SERTA PENERAPAN PERLUASAN ALAT BUKTI UU ITE DALAM PRAKTEK PIDANA CYBER


Salam hangat penulis kepada para pengunjung Blog TERSAJI, dan kehadiran kali ini, pengunjung akan disajikan dengan suatu topik menarik yang sayang untuk dilewatkan. Karena kali ini kita akan mengulas satu kejahatan era modern globalisasi namun jarang disadari, padahal kenyataannya sudah banyak masyarakat yang merasa dirugikan yaitu hal – hal yang berkaitan dengan kejahatan jaringan di dunia maya atau dengan bahasa hukum disebut kejahatan informasi dan transaksi elektronik (ITE) atau yang lebih lagi dikenal dengan cyber crime, sehingga diperlukan aturan khusus terutama mengenai bagaimana cara membuktikan pidana tersebut di depan pengadilan. Namun sebelum mengenal lebih jauh tentang bagaimana perluasan alat bukti digunakan dalam pembuktian perkara pidana cyber crime dan bagaimana cara kejahatan tersebut dilakukan, terlebih dulu akan dijelaskan beberapa istilah bahasa yang banyak ditemukan berkaitan dengan kejahatan dimaksud
diantaranya:
-       Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
-       Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
-   Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
-     Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makan atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
-       Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
-   Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
-    Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
-  Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
-       Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
-  Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
-     Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
-   Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Beberapa istilah dan ketentuan lain yang tidak tercantum disini, mengenai pengertian, tata aturan, dan penerapan pidana dapat pengunjung baca atau download sendiri di http://www.santoslolowang.com/hukum/download-uu-ite

Pembahasan akan dilanjutkan pada bagaimana awalnya muncul undang – undang ini serta perlu atau tidaknya UU ITE ini untuk menangkal baragam perkara ranah pidana yang berhubungan dengan dunia maya.
Berawal pada tanggal 25 Maret 2008, yaitu pemerintah yang diwakili oleh Departemen Komunikasi dan Informasi mengeluarkan suatu perundang – undangan yang dilahirkan atas dasar keprihatinan masyarakat akan kebebasan media informasi terutama yang berasal dan disalurkan melalui jaringan satelit atau internet. Kerawanan kebebasan bersifat kebablasan yang dimaksud disini adalah hal – hal yang berbau pornografi, kekerasan, dan SARA. Kebebasan dunia maya tersebut tidak mengenal batasan umur, golongan, pangkat, dan sudut pandang. Pornografi misalnya, kita dapat dengan amat sangat mudahnya mengakses berbagai macam materi berbau pornografi melalui satu mesin pencari sebut saja salah satunya Google. Terdapat jutaan situs yang menyediakan keinginan fantasi seks seseorang mulai yang bersifat seks edukatif sampai seks bebas. Menutup atau memblokir situs ini bisa diibaratkan seperti membendung banjir di gang perkotaan dengan menggunakan setumpuk karung berisikan pasir, tentunya pasti akan lolos juga. Bahkan yang paling memprihatinkan lagi banyak situs berkedok diluar muatan pornografi namun diselewengkan menjadi penyedia materi pornografi. Menurut ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pornografi yang bersifat layaknya zat adiktif, mampu meracuni mental, pikiran anak dan menumbuh kembangkan pikiran tersebut sampai dewasa dan bersifat candu. Parahnya lagi budaya arif Indonesia masih seolah mentabukan materi pornografi pada usia tertentu, padahal memperhatikan kondisi masa kini rasanya tidak mungkin membendung suatu informasi kehadapan masyarakat, sehingga dengan kepincangan pola pikir tersebut, banyak pihak terutama berimplikasi pada anak – anak yang semakin berani untuk mengungkapkan rasa seksnya tanpa bisa memperkirakan bagaimana akibatnya kedepan.
Dengan satu contoh kecil tentang pornografi tersebut saja mampu mengakibatkan sifat negatif yang sangat kompleks, padahal masih banyak lagi akibat dari era globalisasi internet ini, belum lagi jika kita dihadapkan pada beberapa kejahatan jaringan yang menonjol dan sering diterapkan secara bebas dengan kuantitas tinggi diantaranya sabotase perangkat lunak digital, pengerusakan sistem security jaringan, akses ke jaringan atau situs organisasi atau instansi tertentu yang bersifat rahasia, penyalanghunaan kartu pembayaran transaksi elektronik atau ATM, dan membuka proteksi software tertentu secara ilegal atau tanpa ijin. Beberapa kejahatan yang telah dijabarkan tersebut menjadikan pergeseran fungsi utama internet dari awal mula dihadirkan untuk mencerdaskan kehidupan dengan beragam informasi yang tersebar secara bebas, mengembangkan perekonomian dan perdagangan nasional, serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik, namun saat ini dijadikan sebagai media yang efektif merubah sifat, pola pikir, sudut pandang, mental, dan kebiasaan manusia. Mengapa bisa dikatakan efektif, karena selain program televisi yang bisa dilihat secara gratis, telah banyak provider jaringan masa kini yang menyediakan fasilitas internet secara gratis, langganan, maupun paketan dengan biaya minimalis. Sehingga pengorbanan menggunakan jaringan internet hampir bisa disetarakan dengan melihat program televisi dari perusahaan televisi tanpa bayar.
Bagi sebagian masyarakat modern internet dinilai sebagai lahan yang paling berperan untuk menyebarkan suatu berita dan cerita dalam segala muatan, bahkan menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono, setiap detik terdapat 28258 pengguna internet melihat situs porno, dan setiap detiknya 372 orang mengetikkan kata kunci di mesin pencari untuk mencari konten pornografi, bukanlah suatu yang mengejutkan. Sehingga berkaca pada penelitian tersebut memang diperlukan langkah pasti dalam menanggulangi segala kemungkinan kejahatan atau kejahatan yang telah terjadi dengan menggunakan sarana teknologi elektronik, walaupun jika dibandingkan dengan negara – negara lain di Asia Tenggara saja, Indonesia ketinggalan perihal aturan yang mengatur perihal transaksi elektronik, sebut saja Malaysia yang telah mengeluarkan aturan serupa yang dinamakan Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) sejak tahun 1997 sedangkan Indonesia tertinggal 10 (sepuluh) tahun kemudian, yaitu sejak Indonesia mengesahkan UU ITE pada tahun 2008.
Langkah pasti yang dimaksud adalah aturan tersendiri yang kemudian disebut dengan UU ITE yang digunakan untuk mengatasi penyakit yang timbul di ruang cyber tersebut dan berlaku dalam penanganan kasus berkaitan dengan ruang cyber sehingga mengesampingkan aturan umum (KUHP) atau sering disebut asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Sedangkan hal terpenting dalam menerapkan aturan dimaksud lagi – lagi masalah pembuktian, karena di tahap ini akan memegang peranan yang sangat penting untuk dapat atau tidaknya menjerat seorang tersangka atau terdakwa dengan unsur pokok pasal pidana maupun perdata, lalu bagaimana pengembangan alat bukti yang digunakan dalam UU ITE, berikut penjelasannya :
Alat bukti yang sah dalam UU No. 11 tahun 2008 disebut sebagai dokumen elektronik atau informasi elektronik dan / atau hasil cetaknya yang penjelasannya telah dijabarkan diatas dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP, namun tidak semua dokumen maupun informasi elektronik bisa dijadikan alat bukti, mengapa demikian, karena dilihat lagi apakah digunakan dalam suatu sistem elektronik atau tidak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 UU No. 11 Tahun 2008. Dan sistem elektronik yang bisa dimaksudkan oleh undang – undang ini harus memenuhi persyaratan mínimum sebagaimana diatur dalam pasal 16 UU ITE diantaranya :
-        Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
-    Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
-    Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
-           Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
-        Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Dengan diterapkannya salah satu unsur informasi maupun dokumen elektronik yang mana melalui mekanisme sistem elektronik yang ketentuannya telah diatur tersebut, maka sudahlah cukup memenuhi sebagai alat bukti yang sah di persidangan melalui penerapan UU ITE lebih – lebih jira digunakan bersamaan dengan alat bukti lain dalam pasa 184 KUHP.
Penulis akan memberikan sebuah contoh sederhana bagaimana perluasan alat bukti yang dimaksud dalam UU ini berlaku, dan dikolaborasikan dengan alat bukti pokok yang diatur dalam Hukum Acara Pidana umunya. Contohnya adalah alat lie detector yang diduga digunakan sebagai salah satu barang bukti suatu perkara pidana sebut saja sebagai contoh keterangan / sumpah palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 KUHP, yang mana tidak termasuk dalam kategori alat bukti dalam KUHAP, namun karena sistem peradilan nusantara yang tidak membatasi bagaimana cara mencari alat bukti atau pembuktian bebas, maka sah – sah saja hasil dari alat ini menunjang alat bukti pokok yang lain dengan tujuan sebagai penguat keyakinan hakim untuk memutuskan perkara sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”, sehingga jelas bahwa hasil alat lie detector yang di print dan didukung dengan penjelasan ahli akan menjadi sebuah bukti surat namun kekuatannya harus didukung dengan alat bukti lain yang bersesuaian, sehingga dengan cara tersebut merupakan salah satu usaha yang akan meyakinkan hakim pada perkara yang didakwakan. Begitu pula halnya berlaku pada sarana atau media lain seperti flash disk, copy disk, maupun alat optik penyimpanan lainnya sebagai media penyimpanan digital.

Namun perlu dicatat bahwa alat bukti yang dimaksud bukanlah medianya melainkan informasi atau dokumen elektronik didalamnya dan digunakan sebagai alat maupun hasil kejahatan cyber.

*) Semoga bermanfaat, dan sebagai salah satu referensi penambah ilmu. – tersaji -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar