Apalah arti perbedaan, begitulah kiranya perkataan orang – orang
yang sedang berkumpul dalam satu tempat, lokasi, dan tujuan yang sama, mereka
yang berkumpul akan menggunakan waktu informal yang terbilang santai tersebut
untuk bermain dan tukar pikiran saling membagi dari pendapat sampai makanan
yang disuguhkan oleh seorang yang mendapat giliran untuk menyediakannya, tidak
lama waktu yang disediakan dalam suatu perkumpulan itu antara dua atau paling
lama tiga jam kedepan, namun bagi orang – orang yang mengerti untuk apa mereka
datang, maka waktu akan terasa cepat secepat makanan ringan yang dihidangkan
dan kemudian menjadi lahapan permainan kartu atau teman ngobrol, sampai –
sampai mereka dibuat tidak sadar bahwa waktu yang disediakan telah habis, namun
mereka yang keburu pulang juga bingung untuk menyelesaikannya karena terbentur
dengan dua kepentingan antara teman atau beban tugas maupun kewajiban esok
harinya.
Bunyi kentongan yang dibunyikan di awal dan akhir pertemuan menandakan
kewajiban menjaga lingkungan sesaat telah berakhir dan dilajutkan dengan pulang
menyusuri jalanan kampung yang tidak biasa, juga seharusnya sepi dari orang
berlalulalang karena bisa dilihat dari kondisi penerangan rumah - rumah pinggir jalan yang gelap, dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa waktunya untuk istirahat, namun bukan itu
maksud perjalanan pulang tak biasa tersebut kebiasaan dan aturan lah yang
membuatnya tidak biasa, karena anggota yang telah usai melakukan pertemuan tadi
harus mengambil recehan sampai lembaran rupiah yang terbilang sedikit karena
memang disediakan seikhlasnya. Bukan maksud menilai harga yang terkandung dalam
rupiah tersebut, namun jiwa kebersamaan dan tanpa membebanilah yang paling
utama.
Aturan ? apa yang mendasari dibuatnya aturan tersebut dan bagaimana
kondisi diatas bisa terjadi padahal jika menilik kebelakang tidak ada dokumen
tertulis yang mengharuskan setiap orang wajib melakukan kegiatan malam
dimaksud, tidak seperti halnya dengan kegiatan wajib militer yang dilaksanakan
pemuda – pemuda di Negara gingseng. Apalagi jika kita menginjakkan kaki kembali
ke era jaman ketika sebelum abad yang disebut millennium terjadi atau sebelum
tahun 2000an, perkumpulan yang diberi nama Siskamling itu benar – benar
dirasakan fungsinya diantaranya kondisi keamanan lingkungan terjaga walaupun
sampai matahari terbit, dan selanjutnya kita bisa melihat para peserta
siskamling yang masih tinggal di pos ronda mulai terkapar disanding dengan
puntung rokok dan gelas kopi serta papan catur maupun kartu remi yang masih berserakan,
sedangkan orang lain mulai bangun untuk bekerja, sekolah, atau mencarikan
sarapan untuk anaknya, dan biasanya mereka yang masih tinggal dan terkapar
dalam pos ronda tersebut adalah mereka yang keesokan harinya tidak mempunyai
kegiatan genting untuk sekolah, kuliah, maupun kerja yang membutuhkan waktu
sangat pagi untuk beraktifitas.
Pertanyaan menggelitik sering diucapkan seorang istri yang berpesan
kepada suami yang akan melangsungkan kumpulan siskamling, yaitu agar jangan
lupa pulang, karena memang benar anggota siskamling diutamakan masyarakat yang
tergolong dewasa sampai usia lanjut. Pertanyaan menggelitik tersebut ada pasnya
juga diutarakan, karena tidak sedikit anggota siskamling yang lupa jika telah
asik bercengkrama atau melakukan permainan kartu hingga jika kebablasan berakibat tidur pun di pos
ronda sebagai pengganti kamar mereka. Pendapat warga sebelum era millennium
juga mengisyaratkan bahwa kegiatan siskamling bukan sekedar menjaga lingkungan
perumahan warga dari ancaman tindak kriminalitas di malam atau dini hari, namun
juga sebagai ajang berkumpul, saling mengenal lebih akrab, sampai keuntungan
yang tidak dirasakan langsung adalah memupuk rasa kebersamaan sehingga akan
timbul rasa kegotong royongan di kemudian hari. Terutama masyarakat pedesaan
yang masih memegang erat sifat gotong royong, akan sangat malu apabila anggota
keluarga yang sudah berumur tidak melaksanakan kegiatan siskamling.
Meninggalkan era sebelum abad millennium dan menginjak ke era tahun
2000an atau masyarakat nusantara sering menyebutnya era reformasi, banyak orang
melupakan arti dan fungsi kegiatan malam ini dengan alasan kegiatan yang
berarti berkumpul tanpa tujuan yang jelas dan dianggap hanya sekedar mengurangi
jatah istirahat malam, apalagi jika berkunjung ke kota – kota besar dimana
penduduk atau warga yang menepati wilayah tersebut mudah datang maupun pergi
secara bergantian sehingga memunculkan ego masing – masing untuk mementingkan
kepentingan sendiri dan menomor akhirkan perbuatan sosial, jarang sekali
ditemukan pada masyarakat kota dengan perilaku masyarakatnya seperti tersebut
diatas untuk dengan rasa tulus ikhlas melakukan pola pengamanan swakarsa ini,
sehingga kita dapat simpulkan secara sederhana pula bagaimana interaksi
masyarakat tersebut tinggal satu sama lainnya.
Sedikit perlu diketahui bahwa tidak selama kegiatan siskamling tidak
melulu berkonotasi monoton dan terkesan jadul, lihatlah bagaimana kegiatan ini baru
– baru ini mulai digalakkan oleh masyarakat di Amerika Serikat yang notabene
merupakan Negara maju malah mulai mengindahkan bagaimana pentinganya ronda
tersebut dilakukan. Fakta tersebut memang terbalik apabila kita berkaca pada
era bagaimana nusantara saat ini berkembang, terutama anggapan remeh terhadap
orang – orang yang melakukan siskamling atau ronda, “mereka” lebih menyukai
untuk membayar dan menggunakan jasa security
maupun hansip, padahal jika ditimbang berapa jumlah security dan hansip dibandingkan dengan pelaku kejahatan yang
bermunculan setiap harinya, jelas timpang dan sangat berbanding terbalik.
Sehingga perlu dukungan dan partisipasi langsung masyarakat guna melancarkan
salah satu program satu ini yang bersifat preventif dan merupakan salah satu
program kepolisian RI untuk memolisikan masyarakat dengan membangun mental
masyarakat untuk mandiri dengan bertanggung jawab pada lingkungan masing –
masing atau lebih dikenal dalam bahasa Jawa dengan sebutan open.
Perlu diketahui dan menjadi perhatian penting yang perlu “dicetak tebal” dalam pikiran kita bahwa
hakekat utama siskamling bukanlah untuk memupuk rasa persaudaraan antar warga,
namun lebih kepada upaya preventif terhadap gangguan kamtibmas, sedangkan
persaudaraan yang muncul pada anggota siskamling merupakan nilai plus, yang
saat ini semakin lama semakin pudar dan dikesampingkan karena dirasa tidak
perlu, namun dengan dikesampingkan tersebut tidak perlu penulis jabarkan lagi,
mari kita lihat sendiri rasa empati di sekeliling kita masa kini, satu kata
yang dapat disebut “Individualis” sehingga
membuat sebagian besar kegiatan sosial diukur dengan “uang” dan semakin lama semakin nyata untuk melunturkan semangat
budaya luhur nusantara yaitu “gotong
royong dan kepedulian”, bagi penulis hal tersebut sangat memprihatinkan. Dan
pemeliharaan kamtibmas bukanlah terpaku dengan sebuah kejadian kriminal yang telah
terjadi namun merupakan upaya pencegahan terhadap suatu perilaku masyarakat atau
pribadi yang dapat cepat atau lambat meningkat menjurus pada perbuatan tindak pidana,
dan kegiatan ronda dilakukan pada malam hari karena saat itu perhatian dan
pengawasan masyarakat dianggap kurang. Ingat Slogan kesehatan yang sudah lama
kita kenal “lebih baik mencegah daripada
mengobati”, rasanya ungkapan tersebut yang sesuai dengan gambaran siskamling.
Gambaran singkat diatas telah mencerminkan sekaligus mendefinisikan apakah kegiatan ini dapat dikatakan sebagai ajang pembodohan masyarakat, jika dirasa memang tidak penting, bisa dikata keamanan dan ketentraman pun otomatis tidak diperlukan, pilihan ditangan pembaca !!. -Tersaji-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar