Sabtu, 23 Juni 2012

Siskamling, Antara Nilai Luhur dan Alat Pembodoh Masyarakat


Apalah arti perbedaan, begitulah kiranya perkataan orang – orang yang sedang berkumpul dalam satu tempat, lokasi, dan tujuan yang sama, mereka yang berkumpul akan menggunakan waktu informal yang terbilang santai tersebut untuk bermain dan tukar pikiran saling membagi dari pendapat sampai makanan yang disuguhkan oleh seorang yang mendapat giliran untuk menyediakannya, tidak lama waktu yang disediakan dalam suatu perkumpulan itu antara dua atau paling lama tiga jam kedepan, namun bagi orang – orang yang mengerti untuk apa mereka datang, maka waktu akan terasa cepat secepat makanan ringan yang dihidangkan dan kemudian menjadi lahapan permainan kartu atau teman ngobrol, sampai – sampai mereka dibuat tidak sadar bahwa waktu yang disediakan telah habis, namun mereka yang keburu pulang juga bingung untuk menyelesaikannya karena terbentur dengan dua kepentingan antara teman atau beban tugas maupun kewajiban esok harinya.
Bunyi kentongan yang dibunyikan di awal dan akhir pertemuan menandakan kewajiban menjaga lingkungan sesaat telah berakhir dan dilajutkan dengan pulang menyusuri jalanan kampung yang tidak biasa, juga seharusnya sepi dari orang berlalulalang karena bisa dilihat dari kondisi penerangan rumah  - rumah pinggir jalan yang gelap, dengan demikian bisa disimpulkan bahwa waktunya untuk istirahat, namun bukan itu maksud perjalanan pulang tak biasa tersebut kebiasaan dan aturan lah yang membuatnya tidak biasa, karena anggota yang telah usai melakukan pertemuan tadi harus mengambil recehan sampai lembaran rupiah yang terbilang sedikit karena memang disediakan seikhlasnya. Bukan maksud menilai harga yang terkandung dalam rupiah tersebut, namun jiwa kebersamaan dan tanpa membebanilah yang paling utama.
Aturan ? apa yang mendasari dibuatnya aturan tersebut dan bagaimana kondisi diatas bisa terjadi padahal jika menilik kebelakang tidak ada dokumen tertulis yang mengharuskan setiap orang wajib melakukan kegiatan malam dimaksud, tidak seperti halnya dengan kegiatan wajib militer yang dilaksanakan pemuda – pemuda di Negara gingseng. Apalagi jika kita menginjakkan kaki kembali ke era jaman ketika sebelum abad yang disebut millennium terjadi atau sebelum tahun 2000an, perkumpulan yang diberi nama Siskamling itu benar – benar dirasakan fungsinya diantaranya kondisi keamanan lingkungan terjaga walaupun sampai matahari terbit, dan selanjutnya kita bisa melihat para peserta siskamling yang masih tinggal di pos ronda mulai terkapar disanding dengan puntung rokok dan gelas kopi serta papan catur maupun kartu remi yang masih berserakan, sedangkan orang lain mulai bangun untuk bekerja, sekolah, atau mencarikan sarapan untuk anaknya, dan biasanya mereka yang masih tinggal dan terkapar dalam pos ronda tersebut adalah mereka yang keesokan harinya tidak mempunyai kegiatan genting untuk sekolah, kuliah, maupun kerja yang membutuhkan waktu sangat pagi untuk beraktifitas.
Pertanyaan menggelitik sering diucapkan seorang istri yang berpesan kepada suami yang akan melangsungkan kumpulan siskamling, yaitu agar jangan lupa pulang, karena memang benar anggota siskamling diutamakan masyarakat yang tergolong dewasa sampai usia lanjut. Pertanyaan menggelitik tersebut ada pasnya juga diutarakan, karena tidak sedikit anggota siskamling yang lupa jika telah asik bercengkrama atau melakukan permainan kartu hingga jika kebablasan berakibat tidur pun di pos ronda sebagai pengganti kamar mereka. Pendapat warga sebelum era millennium juga mengisyaratkan bahwa kegiatan siskamling bukan sekedar menjaga lingkungan perumahan warga dari ancaman tindak kriminalitas di malam atau dini hari, namun juga sebagai ajang berkumpul, saling mengenal lebih akrab, sampai keuntungan yang tidak dirasakan langsung adalah memupuk rasa kebersamaan sehingga akan timbul rasa kegotong royongan di kemudian hari. Terutama masyarakat pedesaan yang masih memegang erat sifat gotong royong, akan sangat malu apabila anggota keluarga yang sudah berumur tidak melaksanakan kegiatan siskamling. 

Meninggalkan era sebelum abad millennium dan menginjak ke era tahun 2000an atau masyarakat nusantara sering menyebutnya era reformasi, banyak orang melupakan arti dan fungsi kegiatan malam ini dengan alasan kegiatan yang berarti berkumpul tanpa tujuan yang jelas dan dianggap hanya sekedar mengurangi jatah istirahat malam, apalagi jika berkunjung ke kota – kota besar dimana penduduk atau warga yang menepati wilayah tersebut mudah datang maupun pergi secara bergantian sehingga memunculkan ego masing – masing untuk mementingkan kepentingan sendiri dan menomor akhirkan perbuatan sosial, jarang sekali ditemukan pada masyarakat kota dengan perilaku masyarakatnya seperti tersebut diatas untuk dengan rasa tulus ikhlas melakukan pola pengamanan swakarsa ini, sehingga kita dapat simpulkan secara sederhana pula bagaimana interaksi masyarakat tersebut tinggal satu sama lainnya.
Sedikit perlu diketahui bahwa tidak selama kegiatan siskamling tidak melulu berkonotasi monoton dan terkesan jadul, lihatlah bagaimana kegiatan ini baru – baru ini mulai digalakkan oleh masyarakat di Amerika Serikat yang notabene merupakan Negara maju malah mulai mengindahkan bagaimana pentinganya ronda tersebut dilakukan. Fakta tersebut memang terbalik apabila kita berkaca pada era bagaimana nusantara saat ini berkembang, terutama anggapan remeh terhadap orang – orang yang melakukan siskamling atau ronda, “mereka” lebih menyukai untuk membayar dan menggunakan jasa security maupun hansip, padahal jika ditimbang berapa jumlah security dan hansip dibandingkan dengan pelaku kejahatan yang bermunculan setiap harinya, jelas timpang dan sangat berbanding terbalik. Sehingga perlu dukungan dan partisipasi langsung masyarakat guna melancarkan salah satu program satu ini yang bersifat preventif dan merupakan salah satu program kepolisian RI untuk memolisikan masyarakat dengan membangun mental masyarakat untuk mandiri dengan bertanggung jawab pada lingkungan masing – masing atau lebih dikenal dalam bahasa Jawa dengan sebutan open.
Perlu diketahui dan menjadi perhatian penting yang perlu “dicetak tebal” dalam pikiran kita bahwa hakekat utama siskamling bukanlah untuk memupuk rasa persaudaraan antar warga, namun lebih kepada upaya preventif terhadap gangguan kamtibmas, sedangkan persaudaraan yang muncul pada anggota siskamling merupakan nilai plus, yang saat ini semakin lama semakin pudar dan dikesampingkan karena dirasa tidak perlu, namun dengan dikesampingkan tersebut tidak perlu penulis jabarkan lagi, mari kita lihat sendiri rasa empati di sekeliling kita masa kini, satu kata yang dapat disebut “Individualis” sehingga membuat sebagian besar kegiatan sosial diukur dengan “uang” dan semakin lama semakin nyata untuk melunturkan semangat budaya luhur nusantara yaitu “gotong royong dan kepedulian”, bagi penulis hal tersebut sangat memprihatinkan. Dan pemeliharaan kamtibmas bukanlah terpaku dengan sebuah kejadian kriminal yang telah terjadi namun merupakan upaya pencegahan terhadap suatu perilaku masyarakat atau pribadi yang dapat cepat atau lambat meningkat menjurus pada perbuatan tindak pidana, dan kegiatan ronda dilakukan pada malam hari karena saat itu perhatian dan pengawasan masyarakat dianggap kurang. Ingat Slogan kesehatan yang sudah lama kita kenal “lebih baik mencegah daripada mengobati”, rasanya ungkapan tersebut yang sesuai dengan gambaran siskamling.
Gambaran singkat diatas telah mencerminkan sekaligus mendefinisikan apakah kegiatan ini dapat dikatakan sebagai ajang pembodohan masyarakat, jika dirasa memang tidak penting, bisa dikata keamanan dan ketentraman pun otomatis tidak diperlukan, pilihan ditangan pembaca !!. -Tersaji-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar