Sabtu, 17 November 2012

HARUSKAH “TELANJANG” DI ERA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK ?

Keterbukaan mengenai informasi publik tidak bisa dipungkiri akan sejalan dengan maraknya penggunaan dan penerapan tentang bagaimana cara informasi tersebut disajikan ke khalayak publik. Cerminan realita demikianlah yang memang diinginkan oleh masyarakat untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam perihal suatu peristiwa, karena pada hakekatnya masyarakat sebagai pemegang penuh atas kedaulatan Negara. Fungsi masyarakat yang berhak mengetahui fakta dan informasi yang terjadi dan sebagai kontrol Negara menjadi semakin kuat dengan diterbitkannnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diiringi dengan kemajuan berbagai media yang menghadapkan segala bentuk informasi yang dapat menembus tembok pembatas ruang dan waktu, menjadikan kuatnya keberadaan masyarakat tersebut di mata Negara.
Lahirnya Undang – undang No. 14 Tahun 2008 merupakan respon positif atas tuntutan masyarakat yang mengharapkan pemerintahan maupun instansi Negara bersikap terbuka dalam melakukan fungsi dan peran masing – masing dalam era demokrasi. Sifat dari era keterbukaan informasi sendiri dilihat dan dimaknai secara mendalam terutama dalam hal toleransi penyampaian aspirasi sebagaimana asas, maksud serta tujuan dari undang – undang keterbukaan informasi publik sendiri.

Dengan disahkannya sebagai peraturan yang mau tidak mau harus dipatuhi dan dijalankan oleh setiap warga negara terutama penyedia informasi dan instansi pemerintah, maka secara berkala dan berkelanjutan informasi tersebut wajib disajikan ke hadapan masyarakat dengan berbagai cara. Namun ada beberapa kriteria kapan dan jenis informasi apa yang harus diterbitkan, jangan sampai menjadi salah kaprah bahwa publik harus mengetahui seluruh informasi yang dimiliki oleh setiap instansi pemerintahan dengan gamblang, karena melihat perkembangan kedewasaan dan cara berpikir masyarakat saat ini yang cenderung ”terlalu pintar” atau bisa mengarah ngawur untuk mencerna dan menjabarkan setiap informasi yang diterima, bahkan sering kali terlalu jauh mereka berpikir atas definisinya sendiri.
Namun budaya berpikir demikian tidak dapat dipersalahkan kepada masyarakat karena, pemikiran publik tidak dapat terbentuk melainkan penyedia informasi publik yang mengarahkannya atau dengan kata lain badan penyedia informasilah yang bertanggung jawab atas opini – opini yang timbul pada masyarakat. Sehingga badan penyedia informasi publik harus mengerti kriteria jenis informasi apa yang harus segera dipublikasi dan jenis informasi apa yang perlu dipersangkutkan dengan informasi lain dan membutuhkan waktu untuk penyajian data informasi dimaksud. Contoh kecil dalam penyajian informasi yang tidak bisa disajikan dalam waktu singkat adalah pada ranah hukum. Kepolisian atau KPK tidak akan ceroboh untuk ”rajin” menerangkan kepada publik bagaimana penanganan suatu kasus, karena dalam proses penyidikan harus mengaitkan fakta dan bukti satu sama lain dan untuk proses demikian membutuhkan waktu, sehingga juru bicara lembaga tersebut tidak akan memberikan informasi kecuali sudah ada kesepakatan atau kepastian hukum dalam langkah penyidikannya.
Di lain sisi, media sebagai perantara menyiarkan informasi ke khalayak menjadi pilar utama dalam meneruskan maksud pemberi informasi, karena tumbuh kembang karakter pikir masyarakat tidak lepas dari peran seluruh media baik cetak, elektronik maupun online yang mengarahkan karena masyarakat tidak dapat menolak informasi apa saja yang dihadirkan oleh media entah informasi tersebut murni sesuai apa adanya atau telah ditunggangi kepentingan tertentu.
Melihat peran tersebut petugas pencari berita khususnya wartawan memegang peranan untuk mengemas berita, sehingga menjadikan profesi ini mempunyai tempat strategis dan mempunyai ”power” dalam pembentukan opini. Kita sama – sama telah mencermati bagaimana opini atas terbentuknya perkiraan semata tanpa mengedepankan fakta dan bukti muncul ketika Presiden SBY harus turun tangan dalam situasi memanas kerjasama lembaga penegakan hukum negara Kepolisian RI dan KPK, pidato SBY yang diartikan sebagai perintah tersebut sebelumnya didahului pemicu salah satu penyidik KPK yang dituduh terlibat dalam sebuah perkara hilangnya nyawa seseorang, dan selanjutnya perintah tersebut diharuskan mendukung opini agar tidak terjadi gejolak di masyarakat, padahal sesuai aturan hukum yang dianut NKRI, benar tidaknya dugaan tersebut harus dibuktikan dan mekanisme pembuktian yang memerlukan proses. Begitu juga dengan kemunculan beberapa instansi atau lembaga negara yang dinilai ”bobrok” atas ulah oknum yangbekerja didalamnya, banyak dialog maupun debat dilangsungkan di media, namun sayangnya sekira 90 % penilai menyatakan bahwa lembaga atau instansi tersebut benar ”bobrok” padahal ketika ditanyakan bagaimana kebenaran kebobrokan tersebut banyak juga yang menilai hanya menurut perkiraannya dan logika semata, dan budaya seperti ini sangat mengkhawatirkan, karena setiap permasalahan lembaga negara telah ada lembaga lain yang wajib mengatasinya, sehingga ketika permasalahan muncul di lembaga negara biarkan lembaga yang bertanggungjawab mengatasi membuka kebenaran atas keburukan tersebut dan dihadapkan ke masyarakat sebagai pengawas demokrasi.
Dari penjelasan diatas maka timbul pertanyaan utama yang harus dijawab oleh pemberi informasi, media sebagai perantara penyampai informasi, serta masyarakat sebagai penerima informasi adalah bagaimana baiknya informasi atau berita yang diterima masyarakat ? 
Menurut penulis informasi tersebut baik apabila memenuhi unsur netral, jelas, sesuai fakta, bukan opini atau pikiran sepihak dan berimbang (baik buruk yang diberitakan), dan pertanyaan lain yang muncul adalah apakah harus ”telanjang” informasi tersebut diberikan kepada masyarakat, dan jawabnya adalah ”YA”, untuk informasi yang bukan klasifikasi rahasia negara, dan informasi tersebut memenuhi unsur – unsur penyajian informasi yang baik.

1 komentar: