Keterbukaan mengenai informasi publik tidak bisa
dipungkiri akan sejalan dengan maraknya penggunaan dan penerapan tentang
bagaimana cara informasi tersebut disajikan ke khalayak publik. Cerminan realita
demikianlah yang memang diinginkan oleh masyarakat untuk mengetahui lebih jauh
dan mendalam perihal suatu peristiwa, karena pada hakekatnya masyarakat sebagai
pemegang penuh atas kedaulatan Negara. Fungsi masyarakat yang berhak mengetahui
fakta dan informasi yang terjadi dan sebagai kontrol Negara menjadi semakin
kuat dengan diterbitkannnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik diiringi dengan kemajuan berbagai media yang menghadapkan segala bentuk
informasi yang dapat menembus tembok pembatas ruang dan waktu, menjadikan
kuatnya keberadaan masyarakat tersebut di mata Negara.
Lahirnya Undang – undang
No. 14 Tahun 2008 merupakan respon positif atas tuntutan masyarakat yang
mengharapkan pemerintahan maupun instansi Negara bersikap terbuka dalam
melakukan fungsi dan peran masing – masing dalam era demokrasi. Sifat dari era
keterbukaan informasi sendiri dilihat dan dimaknai secara mendalam terutama dalam
hal toleransi penyampaian aspirasi sebagaimana asas, maksud serta tujuan dari
undang – undang keterbukaan informasi publik sendiri.
Dengan disahkannya sebagai peraturan yang mau
tidak mau harus dipatuhi dan dijalankan oleh setiap warga negara terutama
penyedia informasi dan instansi pemerintah, maka secara berkala dan
berkelanjutan informasi tersebut wajib disajikan ke hadapan masyarakat dengan
berbagai cara. Namun ada beberapa kriteria kapan dan jenis informasi apa yang
harus diterbitkan, jangan sampai menjadi salah kaprah bahwa publik harus
mengetahui seluruh informasi yang dimiliki oleh setiap instansi pemerintahan
dengan gamblang, karena melihat perkembangan kedewasaan dan cara berpikir
masyarakat saat ini yang cenderung ”terlalu pintar” atau bisa mengarah ngawur untuk mencerna dan menjabarkan
setiap informasi yang diterima, bahkan sering kali terlalu jauh mereka berpikir
atas definisinya sendiri.
Namun budaya berpikir demikian tidak dapat
dipersalahkan kepada masyarakat karena, pemikiran publik tidak dapat terbentuk melainkan
penyedia informasi publik yang mengarahkannya atau dengan kata lain badan
penyedia informasilah yang bertanggung jawab atas opini – opini yang timbul
pada masyarakat. Sehingga badan penyedia informasi publik harus mengerti
kriteria jenis informasi apa yang harus segera dipublikasi dan jenis informasi
apa yang perlu dipersangkutkan dengan informasi lain dan membutuhkan waktu
untuk penyajian data informasi dimaksud. Contoh kecil dalam penyajian informasi
yang tidak bisa disajikan dalam waktu singkat adalah pada ranah hukum.
Kepolisian atau KPK tidak akan ceroboh untuk ”rajin” menerangkan kepada publik
bagaimana penanganan suatu kasus, karena dalam proses penyidikan harus
mengaitkan fakta dan bukti satu sama lain dan untuk proses demikian membutuhkan
waktu, sehingga juru bicara lembaga tersebut tidak akan memberikan informasi
kecuali sudah ada kesepakatan atau kepastian hukum dalam langkah penyidikannya.
Di lain sisi, media sebagai perantara menyiarkan
informasi ke khalayak menjadi pilar utama dalam meneruskan maksud pemberi
informasi, karena tumbuh kembang karakter pikir masyarakat tidak lepas dari
peran seluruh media baik cetak, elektronik maupun online yang mengarahkan karena
masyarakat tidak dapat menolak informasi apa saja yang dihadirkan oleh media
entah informasi tersebut murni sesuai apa adanya atau telah ditunggangi
kepentingan tertentu.
Melihat peran tersebut petugas pencari berita khususnya
wartawan memegang peranan untuk mengemas berita, sehingga menjadikan profesi
ini mempunyai tempat strategis dan mempunyai ”power” dalam pembentukan opini. Kita
sama – sama telah mencermati bagaimana opini atas terbentuknya perkiraan semata
tanpa mengedepankan fakta dan bukti muncul ketika Presiden SBY harus turun
tangan dalam situasi memanas kerjasama lembaga penegakan hukum negara
Kepolisian RI dan KPK, pidato SBY yang diartikan sebagai perintah tersebut
sebelumnya didahului pemicu salah satu penyidik KPK yang dituduh terlibat dalam
sebuah perkara hilangnya nyawa seseorang, dan selanjutnya perintah tersebut
diharuskan mendukung opini agar tidak terjadi gejolak di masyarakat, padahal
sesuai aturan hukum yang dianut NKRI, benar tidaknya dugaan tersebut harus
dibuktikan dan mekanisme pembuktian yang memerlukan proses. Begitu juga dengan kemunculan
beberapa instansi atau lembaga negara yang dinilai ”bobrok” atas ulah oknum
yangbekerja didalamnya, banyak dialog maupun debat dilangsungkan di media,
namun sayangnya sekira 90 % penilai menyatakan bahwa lembaga atau instansi
tersebut benar ”bobrok” padahal ketika ditanyakan bagaimana kebenaran
kebobrokan tersebut banyak juga yang menilai hanya menurut perkiraannya dan
logika semata, dan budaya seperti ini sangat mengkhawatirkan, karena setiap
permasalahan lembaga negara telah ada lembaga lain yang wajib mengatasinya, sehingga
ketika permasalahan muncul di lembaga negara biarkan lembaga yang
bertanggungjawab mengatasi membuka kebenaran atas keburukan tersebut dan
dihadapkan ke masyarakat sebagai pengawas demokrasi.
Dari penjelasan diatas maka timbul pertanyaan
utama yang harus dijawab oleh pemberi informasi, media sebagai perantara penyampai
informasi, serta masyarakat sebagai penerima informasi adalah bagaimana baiknya
informasi atau berita yang diterima masyarakat ?
Menurut penulis informasi tersebut baik apabila memenuhi unsur netral,
jelas, sesuai fakta, bukan opini atau pikiran sepihak dan berimbang (baik buruk
yang diberitakan), dan pertanyaan lain yang muncul adalah apakah harus
”telanjang” informasi tersebut diberikan kepada masyarakat, dan jawabnya adalah
”YA”, untuk informasi yang bukan klasifikasi rahasia negara, dan informasi tersebut
memenuhi unsur – unsur penyajian informasi yang baik.
Jurnal yg bagus., setuju banget.,lanjutkan.,.!!!
BalasHapus